MAKALAH
MARHAENISME
Karnaen,
SH., M.H
Disusun
Oleh:
Fahad
Fadilah Haz
(12610007)
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS PUTRA INDONESIA
CIANJUR
2013
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbilalamiin,
banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala
puji kehadirat Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengam judul “MARHAENISME”.
Dalam
penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena
itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang
tua, kepada Dosen yang bersangkutan (Karnaen, S.H MH), dan kepada seluruh
teman-teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan
kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal,
semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah
yang lebih baik lagi.
Meskipun
penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan,
namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir
kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca. Amiin.
Cianjur,
November 2013
Penyusun
Fahad Fadilah Haz
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1. 1 Latar Belakang 1
1. 2 Tujuan 2
BAB
II PEMBAHASAN 3
BAB
III PENUTUP 12
DAFTAR PUSTAKA iii
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulgani, Roeslan. Sosialisme
Indonesia. Jakarta: Prapanca, 1963.
Dahm, Bernhard. Sukarno dan
Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES, 1987. Hikam, Muhammad
AS. Mbak Mega Saya Ikut Sampeyan. Jakarta: Lingkaran Jurnalistik, 1999.
Inderakesuma, Roeswulan. Konsepsi
Soekarno tentang Marhaen. Depok: Skripsi Sarjana FSUI, 1987.
Labrousse, Pierre. Le deuxisme
vie de Bung Karno, Analyse de mythe (1978-1981). Archipel25, 1988, hal.
187-214.
Legge, John D. Soekarno Biografi
Politik. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Lubis, Muhammad Ridwan, Pemikiran
Soekarno tentang Islam. Jakarta: CV Haji Masagung , 1992.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan
Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Onghokham. Soekarno: Mitos dan
Realitas. Prisma, No. 8, Agustus, 1977, hal. 3—14.
Rocamora, J. Ellisio. Nasionalisme
Mencari Ideologi – Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti Pers, 1990.
Saksono, Ign Gatut. Gambaran
Masyarakat dalam Marhaenisme. Jakarta: Skripsi Sarjana STF Driyakarya,
1986.
Subekti, Valina Sangkina. Sukarno
dan Marhaenisme, dalam Nazaruddin Sjamsuddin (ed). Soekarno-Pemikiran Politik dan kenegaraan
praktek. Jakarta. Rajawali Pers, 1988, hal. 139—171.
Sudibyo, Agus. Bung Karno dalam
Wacana Pers Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. No. 1, 1999, hal.
158—179.
Sukarno. Shaping and Reshaping
Indonesia; menggalang massa aksi revolusioner menuju masyarakat adil dan
makmur: Kuliah tentang Marhaenisme pada malam peringatan 30 tahun berdirinya
PNI pada tanggal 3 Juli 1957 di Bandung. Jakarta: Kementerian Penerangan, 1957.
_____. Dibawah Bendera Revolusi.
Jilid III. Jakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi, 1964.
_____. Indonesia Menggugat.
Jakarta: Yayasan Pendidikan Soekarno-Inti Indayu Pers, 1983.
_____. Pancasila sebagai Dasar
Negara. Jakarta: Yayasan Pendidikan
Soekarno-Inti Idayu Pers, 1984.
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Sejarah kolonialisme yang terjadi pada bangsa ini,
yakni penjajahan yang begitu lama dilakukan oleh Belanda terhadap Bangsa kita
tercinta ini. Dari berbagai kejadian yang dialami bangsa Indonesia sebagai
bangsa terjajah banyak melahirkan konsep metode perjuangan, yang salah satunya
yakni Marhaenisme yang digagas oleh Bung Karno
Konsep pada tahun 1927. Konsep ini muncul sebagai antithesa terhadap
thesa kolonialisme yang membelenggu rakyat Indonesia pada waktu itu.
Banyak hal yang harus kita pelajari dan diamalkan
tentang marhaenisme, marhaen, dan marhaenis. Marhaenisme merupakan asas yang
menghendaki susunan mayarakat dan negara yang di dalam segala halnya
menyelamatkan kaum Marhaen (rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh Kapitalisme
yang ada di Indonesia menjelma menjadi Kolonialisme waktu itu).
Marhaen diambil dari nama seorang petani yang ditemui
Soekarno. Ia adalah seorang petani dari Bandung selatan. Marhaen digunakan
untuk menggambarkan kelompok masyarakat Indonesia yang menderita/sengsara bukan
karena kemalasan atau kebodohannya, akan tetapi sengsara atau disengsarakan
oleh sistem kapitalisme-kolonialisme. Marhaen merupakan jelmaan setiap rakyat
Indonesia yang melarat atau yang lebih tepat yang telah dimelaratkan oleh
sistem kapitalisme dan kolonialisme. Kaum Marhaen terdiri dari tiga unsur,
yaitu: kaum proletar (buruh), kaum petani melarat, dan kaum melarat Indonesia
lainnya.
Kalau Marhaenis merupakan setiap pejuang dan setiap
patriot bangsa yang menghimpun berjuta-juta kaum Marhaen dan bersama-sama massa
Marhaen itu hendaknya menumbangkan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme.
Mereka bersama-sama kaum Marhaen bekerja keras membangun negara dan bangsa yang
kuat, bahagia, sentosa, adil dan makmur.
Sedangkan Kaum Marhaen disini adalah rakyat jelata
yang merupakan bagian terbesar dalam masyarakat manapun juga. Mereka mengalami
penindasan secara ekonomi selama puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun oleh
tindakan golongan yang lebih kuat atau sedang berkuasa, ini dalam konteks
penjajahan belanda waktu itu. Mereka menderita bukan hanya penindasan oleh
golongan yang berkuasa tetapi juga karena kebodohan, kurang pengertian, dan
kurang kesadaran. Karena kebodohan dan kurang kesadaran inilah penindasan
berlangsung terus-menerus. Mereka menderita karena sistem feodal, imperialime,
kolonialisme, atau kapitalisme.
Marhaenisme mempunyai tujuan perjuangan, dalam hal ini
termaktub dalam asas Sosio Nasionalisme yaitu menciptakan Masyarakat marhaenis
atau masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sosio Nasionalisme bukanlah konsep chauvinism, bukanlah berifat kedaerahan
tertentu, tidaklah konsep sebuah etnis atau golongan saja.
Azas yang kedua dalam Marhaenisme adalah Sosio
Demokrasi, hal ini mengandung dua konsep besar yaitu Demokrasi politik dan
Demokrasi Ekonomi. Demokrasi politik menginginkan kedaulatan politik sebuah
Negara, tidak menjadi Negara boneka oleh Negara yang kuat dan adidaya.
Begitupun juga tentang ekonomi sebuah Negara, konsep ini menekankan pada
kemandirian bangsa Indonesia secara ekonomi.
Ketiga, yakni Ketuhanan, azas yang terakhir ini bisa
kita baca bahwa Negara Indonesia memiliki adalah bangsa yang memiliki
kerpercayaan terhadap tuhan atau dengan kata lain Negara yang rakyatnya beragama,
bangsa Indonesia bukan Negara milik salah satu agama saja, akantetapi
masyarakat yang berdiam di Negara ini semua beragama.
Sebagai langkah perjuangan marhaenisme di masa
sekarang, dimana masyarakat sudah berubah, kapitalisme sudah berevolusi sedemikian
rupa, maka kita bisa membaca dengan marhaenisme sesuai dengan keadaaan tanpa
menghilangkan tujuan akhir negara Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
- 2 Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini
adalah sebagai tugas makalah kewiraan dan untuk menambah pengetahuan dan
diharapkan bermanfaat bagi kita semua serta Marhaenisme sebagai salah satu
tujuan perjuangan yaitu untuk menciptakan Masyarakat marhaenis atau masyarakat sosialis Indonesia
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN
Kendati Soekarno telah tiada,
ajaran-ajarannya tetap saja menghantui ingatan seseorang. Lihat saja Megawati
Soekarnoputri memperoleh sejumlah rintangan dari formasi tertentu dalam negara,
ketika ada dukungan dari arus bawah yang begitu kuat terhadap Megawati
Soekarnoputri untuk menjadi orang nomor satu partai berlambang kepala banteng.
Meskipun megawati Soekarnoputri terpilih menahkodai kapal wong cilik yang
tersingkir dari derap pembangunan. Goncangan pun tak surut sehingga kapal pun
pecah dan ada dua nahkoda. Tindakan kurang terpuji itu dilakukan dengan salah
satu alasannya, karena khawatir kebangkitan Marhaenisme, yang bisa dianggap
sebagai ideologi penantang terhadap kemapanan dari pemerintah yang menjalankan
pembangunan bernuansa kapitalisme.
Di era reformasi, terdapat sejumlah
partai politik dan organisasi masyarakat yang berlambang kepala banteng dan
yang mempunyai hubungan ideologis dengan Soekarno. Ada yang secara langsung
menyebut dirinya sebagai Marhaenis. Diantaranya PNI Front Marhaen, PNI Massa
Marhaen, Partai Rakyat Marhaen, Kesatuan Buruh Marhaenis, dan Keluarga Besar
Marhaenis. Kendati mereka diperbolehkan berdiri, tetapi pemerintah Habibie
memperdengarkan kata Marhaenis dengan nada yang perlu diwaspadai, sehingga menimbulkan
sanggahan dari orang yang menyatakan dirinya Marhaenis.
Sebenarnya kata Marhaenisme sudah
lama tidak terdengar dan jarang orang mengenal makna kata itu. Marhaenisme
pernah menjadi istilah yang popular ketika Soekarno berada di puncak
kekuasaannya dan begitu Soekarno surut dari panggung politik, lambat laun kata
itu jarang terdengar. Marhaenisme dan Soekarno merupakan suatu hal yang tidak
bias dipisahkan, karena Marhaenisme sebagai rumusan pertama kalinya dicetuskan
Soekarno. Sebagai asas partai, Marhaenisme berakhir dengan berfusinya PNI
kedalam PDI pada tahun 1975. Ada sejumlah organisasi masyarakat yang berasaskan
Marhaenisme, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan Gerakan Wanita Marhaenis.
Tetapi dengan berlakunya Pancasila sebagai asas tunggal, Marhaenisme tidak
boleh digunakan sebagai asas organisasi.
Istilah Marhaenisme dan Marhaen
disebut-sebut dalam pidato Soekarno sebagai ketua PNI yang didirikan pada bulan
Juli 1927, tetapi bisa dikatakan secara resmi istilah Marhaen itu memperoleh
definisi dalam pidato pembelaan Soekarno, “Indonesia Menggugat”, di hadapan
Pengadilan Kolonial Belanda di Bandung pada tahun 1930. Soekarno menyatakan
bahwa pergaulan hidup merk Marhaen; adalah pergaulan hidup yang sebagian besar
sekali adalah terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang
kecil, kaum pelayar kecil, … kaum Marhaen yang apa-apanya semua kecil. Di sini
Soekarno mencoba membedakan secara tajam antara konsep Marhaennya itu dengan
konsep proletarian dari kaum sosialis Barat, terutama komunis. Kalau struktur
masyarakat Eropa telah melahirkan kaum buruh sebagai golongan tertindas atau
proletar, sebaliknya masyarakat Indonesia yang belum industrialis mempunyai
kaum marhaen yang juga sengsara dan melarat.
Rumusan kata marhaenisme dan marhaen
yang lebih terperinci diperoleh dalam tulisan Soekarno, Marhaen dan Proletar,
yang dimuat dalam Fikiran Rakyat pada tahun 1933. Sebuah uraian mengenai
keputusan-keputusan Partindo (yang dianggap sebagai kelanjutan PNI yang bubar
pada tahun 1931) mengenai ideologi baru itu di Mataram (Yogyakarta) yang
dikemukan dalam sembilan tesis pokok Marhaenisme dan Marhaenis. Dasar pokok
kedua, menyatakan bahwa Marhaen tidak hanya mengacu pada petani miskin, tetapi
mencakup kaum proletar dan kaum melarat lainnya. Oleh karena itu pada dasar
pokok ketiga, dinyatakan bahwa Marhaen lebih luas dari proletar, karena ia
mencakup segala macam kaum melarat lainnya. Kendati demikian, pada dasar pokok
kelima, menyatakan di dalam perjuangan (Partindo), kaum proletar memainkan peranan
penting, karena kaum proletar telah mengenal cara produksi kapitalisme, di alam
perjuangan anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan sebagai pelopor.
Dalam dasar pokok kedelapan, disebutkan Marhaenisme adalah cara yang
menghendaki hilangnya segala bentuk kapitalisme dan imperialisme. Sedangkan,
pada dasar pokok kesembilan, dikatakan bahwa setiap bangsa Indonesia yang
menjalankan Marhaenisme disebut marhaenis.
Sebenarnya Marhaenisme dan Marhaen
yang dirumuskan Soekarno bisa ditafsirkan sebagai ikhtiar melawan ideologi
saingannya, yang mana Marhaenisme menolak analisis kelas dari PNI baru
(Hatta-Syahrir) dan lebih menyukai pejuangan ras dan menggantikan citra ekonomi
sosialis berdasarkan kolektivisme dengan konsep kebahagiaan dan keadilan sosial
untuk marhaen, rakyat kecil yang berjumlah 95% dari rakyat Indonesia.
Penemuan kata “Marhaen”, dikisahkan
pertama kali dalam kuliah Soekarno, Shaping and Reshaping Indonesia di Bandung
pada tanggal 3 Juli 1957. Ketika Soekarno berjalan-jalan di suatu sawah sekitar
kota Bandung dan bertemu dengan seorang petani. Ketika ditanya siapa yang
memiliki tanah yang sedang dikerjakan, sang petani menjawab, “Milik saya!” Ini
pacul punya siapa? “Millik saya,” jawab petani kembali. ”Alat-alat ini, punya
siapa? “Milik saya.” Dari dialog dengan petani itu, Soekarno berkesimpulan
bahwa petani itu hanya bekerja untuk dirinya sendiri dan bukan untuk orang
lain. Kendati petani bekerja dengan modal dan kekuatan sendiri, ia tetap saja
miskin. Oleh karena itu, Soekarno menggunakan nama “Marhaen” sebagai gambaran
“kemiskinan rakyat”. Marhaen adalah setiap rakyat yang dimelaratkan oleh
kapitalisme, imperialisme, kolonialisme.
Kritik Soekarno terhadap Kapitalisme
dan Imperialisme berkaitan erat dengan cita-cita masyarakat Indonesia yang menjadi
idaman Soekarno. “Kapitalisme”, kata Soekarno dalam “Indonesia
Menggugat”(1930), adalah “suatu pegaulan hidup yang timbul dari cara produksi
yang memisahkan kaum buruh yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum
buruh dari alat-alat produksi”. Oleh karena itu, di satu pihak pemilik alat
produksi terjadi akumulasi kapital, sentralisasi kapital dan konsentrasi
kapital dan sedangkan di pihak lain terjadi proses pemiskinan. Karena itulah,
penolakan terhadap sistem masyarakat yang mana manusia mengeksploitasi
sesamanya mewarnai pidato-pidato Soekarno. Imperialisme, menurut Soekarno
adalah “… suatu nafsu, suatu sistem yang menguasai atau mempengaruhi ekonomi
bangsa lain atau negeri.” Imperialisme bagi Soekarno telah menyebabkan
bangsanya yang tinggal di tanah air yang begitu subur, kaya dan indah tetapi
penghuninya menjadi jembel. Kolonialisme bisa diartikan sebagai anak kelahiran
dari sistem imperialisme dan imperialisme merupakan tingkat tertinggi dari
kapitalisme.
Untuk mewujudkan masyarakat tanpa
kapitalisme dan imperialisme harus melalui revolusi. Revolusi Nasional
diperlukan untuk memperoleh kemerdekaan yang menjadi prasyarat utama
terciptanya masyarakat sosialis yang dicita-citakan. Oleh karena itu, dalam
risalah Mencapai Indonesia Merdeka pada tahun 1933, Soekarno menyatakan bahwa
kemerdekaan hanyalah “Jembatan Emas”. Setelah prasyarat pertama dipenuhi,
menyusul ….. Revolusi Sosial agar negara nasional yang tercipta diperintah kaum
marhaen bukan jatuh ke dalam tangan kaum borjuis atau kaum ningrat Indonesia.
Ada bahaya kalau masyarakat Indonesia sudah merdeka tetapi yang memegang
kekuasaan bukan kaum marhaen melainkan kaum borjuis atau kaum ningrat. Dengan
demikian kemerdekaan itu tidak berarti. Kemerdekaan semacam itu hanya
memberikan ruang gerak yang begitu leluasa bagi sistem kapitalisme. “Tidak ada
suatu perubahan besar,” kata Soekarno dalam risalah di atas “….yang lahirnya
tidak karena massa aksi.” Massa-Aksi itu harus terwujud dalam suatu partai yang
mampu mendidik rakyat kearah kesadaran radikal dan menuntun rakyat kearah
kemenangan. Partai semacam itu akan memegang komando barisan massa. Partai yang
memegang obor dan menyuluh jalan yang gelap menjadi jalan yang terang. Oleh
karena itulah partai pelopor diperbolehkan hanya satu saja agar tidak
membingungkan massa. Orang yang memiliki kesadaran radikal yang bisa masuk ke
dalam barisan partai.
Ketika Jembatan Emas di ambang
pintu, Soekarno menawarkan Pancasila sebagai rujukan bersama, dalam sidang
BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Sebuah pidato yang bisa ditafsirkan sebagai
suatu ikhtiar kalsik dari gagasan politik yang dikembangkan sampai tahun 1945.
Kelima prinsip yang ditawarkan adalah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme
atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan
Keutuhan yang berkebudayaan. Kalau Pancasila diperas menjadi Trisila adalah
sosio-nasionalisme (kebangsaan dan peri kemanusiaan), Sosio-Demokrasi
(demokrasi dan kesejahteraan) dan Keutuhanan. Kalau trisila diperas menjadi
Ekasila alah gotong-royong.
Kata sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi bukan kata-kata yang baru dalam kosa politik Soekarno. Sembilan
pokok Marhaenisme dan Marhaen (1933), pada dasar pokok pertama, menyatakan
Marhaenisme adalah Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Rumusan Pancasila
Soekarno di atas, berbeda dengan rumusan dan uraian yang ada dalam Pembukaan
UUD 1945, akan tetapi dasar ideologinya sama—Pancasila. Kalau Soekarno
mendahulukan fundamen politik dan menjadikan moral agama sebagai penutup, dan
dalam Pembukaan UUD 1945 didahulukan fundamen moral agama dari fundamen
politik. Rumusan terakhir itu merupakan hasil kerjasama para pendiri bangsa
yang menempatkan konsep metafisik sebagai dasar pertama.
Ketika Revolusi Kemerdekaan
bergerak, sebenarnya Soekarno bermaksud mendirikan PNI sebagai partai pelopor.
Tetapi karena situasi tidak mendukung maka PNI ditiadakan dan berdasarkan
Maklumat Pemerintah Nomor X pada bulan November 1945, berdirilah partai-partai,
antara lain PNI (1946) yang dianggap sebagai kebangkitan kembali PNI tahun
1927. Marhaenisme menjadi asas dari partai berlambang kepala banteng itu.
Penafsiran Marhaenisme sebagai ideologi partai tergantung pada kebutuhan
partai, ditempa oleh tuntutan sejarah yang saling bertentangan, susunan partai
dan koalisi politik yang bergerak cepat.
Rumusan Marhaenisme dengan cakupan
yang luas dinyatakan dalam kongres ketiga PNI pada tahun 1948. Perumusan
asas-asas partai terjalin erat dengan kondisi akhir tahun 1945-1948 yang pada
umumnya tidak ada persaingan ideologis. Keterangan asas dan dasar PNI bisa
ditafsirkan sebagai tanggapan terhadap tantangan ideologis PKI. PNI menyatakan
bahwa bentuk radikalisme PNI berbeda dengan radikalisme PKI. Oleh karena itu,
PNI menolak terhadap segala bentuk kediktatoran, yang terutama diarahkan pada konsep
kediktatoran proletariat. Perlawanan ini menunjukkan adanya kekuatan dari dalam
PNI pada saat itu sehingga keterangan asas dan dasar PNI merupakan tanggapan
terhadap tantangan PKI dengan merumuskan bentuk radikalisme sosialnya sendiri.
Perumusan kembali ideologi PNI, yang
disebut Manifesto Marhaenis, dalam kongres keenam PNI pada bulan Desember 1952.
Manifes itu menyatakan masayrakat Indonesia pascakolonial menjadi 2% yang hidup
makmur, 7% yang hidup berkecukupan dan 91% lagi adalah petani miskin, pedagang
kecil, buruh kecil dan pegawai rendahan yang hidup dalam kemiskinan. Sebagaian
besar penduduk yang miskin itu adalah Marhaen. Untuk mencapai masyarakat
Marhaenisme, partai Marhaenis bertugas untuk “menghancurkan pranata-pranata
feodal, benih-benih kapitalisme nasional, perusahaan raksasa asing dan
kebodohan rakyat yang masih ada di Indonesia.
Dalam rumusan tersebut ada yang
berupa ulangan dari pernyataan ideologi (1948). Beberapa rumusan yang diulang,
nasionalisme di urutan pertama, penolakan terhadap perjuangan kelas, penegasan
perjuangan melawan kapitalisme asing serta kapitalisme dan feodalisme nasional.
Bagian yang terpenting yang tidak diulang pada tahun 1952 adalah pernyataan
bahwa PNI menentang pranata hak milik pribadi, atau lebih khususnya penguasaan
pribadi atas sarana produksi. Inkonsistensi ini sebagian besar dari proses
perumusan kedua dokumen tersebut dan proses perbaikan yang dilakukan untuk
menjamin persetujuan dari pelbagai kelompok yang diwakili dalam kongres.
Marhaenisme menurut PNI bukanlah ajaran yang mengharuskan para pemimpin yang
penuh cita-cita meleburkan diri dan hidup sesuai dengan ajaran tersebut.
Sebaliknya, ajaran Marhaenisme merupakan sejumlah pernyataan simbolik untuk
memberi keabsahan politik bagi suatu kepemimpinan. Ideologi PNI dipergunakan
untuk mendidik massa demi mencapai tujuan yang ditentukan elite, dan bukan
mengerahkan massa atas dasar keluhan-keluhan mereka.
Kongres PNI ketujuh pada tahun 1954,
memberi pernyataan sehubungan dengan asa-asa perekonomian PNI. Konsepsi
Perekonomian menyatakan bahwa seharusnya pemerintah secara aktif membantu
mengembangkan Kewiraswastaan nasional. Pemerintah harus membantu pengerahan
modal nasional untuk investasi di berbagai bidang ekonomi melalui program pada
bank-bank swasta nasional. Perusahaan swasta besar harus dilarang. Semua
perusahaan besar dan vital harus dimiliki dan diawasi negara. Perusahaan asing
harus dinasionalisasi. Dukungan PNI terhadap pengusaha nasional yang berkembang
pesat tidak bisa dilepaskan dari kondisi PNI yang tidak mempunyai kelompok yang
mapan dan kebutuhan keuangan PNI semakin meningkat selama kampanye pemilu.
Adanya multipartai disertai dengan
kainet parlementer yang silih berganti dan berumur rata-rata 6 bulan, ternyata
mengurangi stabilitas kabinet. Pemilu tahun 1955 diselenggarakan agar bisa
dibentuk kabinet yang stabil berdasarkan pilihan rakyat. Ternyata hasilnya
kurang menggembirakan karena tidak ada suara mayoritas dan jalan koalisi harus
ditempuh untuk membentuk pemerintah baru. Kendati Soekarno menginginkan agar
PKI sebagai salah satu partai besar disertakan dalam kabinet yang baru tapi
Masyumi dan NU menolak. Kemudian PNI, Masyumi dan NU membentuk kabinet itu pun
jatuh. Harapan terhadap kabinet hasil pemilu itu tinggal harapan kosong belaka.
Kejadian menyebabkan partai politik kehilangan pamor.
Dalam kondisi jatuh bangun kabinet,
pada bulan Oktober 1956, Soekarno menyatakan bahwa pada tahun 1945 konsepsinya
tentang partai negara yang nyaris dilaksanakan atas keputusan untuk mendorong
berdirinya partai-partai politik. Soekarno menyatakan bahwa ia bukan saja
bermimpi tetapi malah menganjurkan agar terjadi pembubaran partai-partai yang
dilakukan para pemimpin partai politik. Kendati demikian Soekarno menyatakan
dirinya seorang demokrat yang tidak menyukai liberal. Soekarno berkeinginan
untuk mewujudkan Demokrasi Terpimpin.
Melalui konsepsi Presiden pada tanggal 21 Februari 1957, yang diawali
dengan penolakan terhadap demokrasi liberal yang mengizinkan pemaksaan
mayoritas atas minoritas. Kemudian Soekarno menyatakan telah memperoleh suatu
gaya untuk mencapai kata sepakat dalam pengambilan keputusan pemerintah yang
berakar pada bentuk musyawarah di pedesaan. Soekarnopun mengusulkan dibentuknya
Kabinet Gotong Royong yang mewakili semua partai. Karena PKI diberi kesempatan
untuk turut serta dalam kesepakatan nasional. Kabinet “berkaki empat” terdiri
dari PNI, Masyumi, NU dan PKI, dan partai-partai kecil lainnya turut membantu.
Selain Kabinet Gotong Royong,
Soekarnopun mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional dibawah pimpinannya yang
dapat bermusyawarah mengenai garis-garis politik nasional. Dewan Nasional
merupakan perwakilan dari golongan fungsional yang terdiri dari wakil-wakil
buruh, tani, cendikiawan, pengusaha nasional, agama, angkatan bersenjata,
organisasi perempuan, organisasi pemuda dan wakil daerah. Kalau kabinet berkaki
empat merupakan cerminan dari parlemen, Dewan Nasional adalah pencerminan dari
masyarakat secara keseluruhan. Dengan memasukkan unsur utama dari masyarakat
berarti kabinet gotong royong dan Dewan Nasional akan bisa mengambil keputusan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan keputusan itu memperoleh dukungan dari
seluruh bangsa: Konsepsi Presiden Soekarno itu memperoleh dukungan dari partai
besar – PNI dan PKI, tetapi Masyumi dan NU menolak.
Harapan-harapan pada tahun 1949
ternyata telah membawa sejumlah kekecewaan, kemerdekaan memang membawa banyak
kemajuan, tetapi menyangkut kebutuhan material, karenanya tidak ada satu
kabinetpun yang bisa memuaskan harapan-harapan masyarakat yang begitu besar.
Situasi pun menjadi runyam dengan adanya pergolakan di Indonesia bagian Timur
dan Sumatra dan Kabinet Ali-Roem-Idham jatuh pada bulan Maret 1957. Kemudian
Soekarno menunjukkan ketua PNI Suwiryo sebagai formatur untuk menyusun kabinet
dan ternyata gagal untuk membentuk kabinet koalisi. Kemudian docoba kembali
membentuk kabinet yang tidak tergantung pada partai tetapi mengalami nasib yang
sama. Kegagalan ini menyebabkan Soekarno memanggil sekitar tujuh puluh pemimpin
partai politik, pejabat senior dan pemimpin militer untuk suatu rapat pada
tanggal 4 Juli 1957. Beberapa orang diantaranya dipanggil lewat radio, mereka
yang berada di daerah terburu-buru ke Jakarta. Di dalam rapat Soekarno
menyatakan bahwa Presiden Soekarno telah menunjuk warganegara Soekarno untuk
membentuk pemerintahan. Kemudian Soekarno mengedarkan lembaran kertas yang
berisi pernyataan bersedia atau tidak duduk dalam pemerintahan baru. Beberapa
orang menolak, tetapi lebih banyak lagi bersedia. Soekarno kemudian berhasil
membentuk kabinet dibawah pimpinan Djuanda, seorang tokoh non partai. PNI dan
NU menyumbang masing-masing empat orang menteri sebaliknya Masyumi menolak duduk dalam kabinet. Dan ada dua
simpatisan dalam kabinet itu.
Dalam kabinet yang kurang mendudkung
itu, Soekarno memberi kuliah tentang Marhaenisme dengan judul “Shaping and
Reshaping Indonesia: menggalang massa aksi revolusioner menuju masyarakat adil
dan makmur”, pada malam peringatan 30 tahun berdirinya PNI pada tanggal 3 Juli
1957 di Bandung. Melalui kuliah itu, Soekarno mengeritik demokrasi parlementer
yang dipaksakan dan yang berlaku di Indonesia. Soekarno menyatakan
ketidakyakinan bahwa demokarasi parlementer bisa tercapai masyarakat sosialis.
“Janganlah kita mengira bahwa kita bisa mengadakan satu masyarakat adil dan
makmur.” Soekarno pun menyatakan bahwa kenyataan tersebut telah menjadi buah
pikiran Soekarno pada tahun 1927—1933. Oleh karena itu Soekarno mengusulkan
mengenai perlunya demokrasi politik yang dibarengi demokrasi ekonomi. Demokrasi
sosial itu merupakan pilihan lain dari demokrasi parlementer, yang bisa memberi
kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Demokrasi Parlementer memberi hak politik
pada si buruh miskin dan majikannya tetapi pada saat yang sama sang kapitalis
berdiam di gedung mewah dan si buruh tinggal di gubug yang mana istrinya
menangis karena anaknya tidak bisa makan.
Hampir 12 tahun Indonesia merdeka,
tetap saja belum bisa memberi kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Selama
masyarakat adil dan makmur belum tercapai, revolusi tetap diperlukan. Di dalam revolusi
mempunyai keharusan untuk merenung dan membentuk segala sesuatu.
Revolusi minta thinking
and rethinking
….. bukan saja berpikir, membentuk
….. dan jikalau perlu, re-shape
….. membentuk, kalau ternyata bentuk itu salah,
buanglah, buanglah, ganti
dengan bentuk baru, re-shape.
Kalau ini salah, buang, ganti dengan bentuk baru.
Soekarno menyatakan bahwa revolusi
adalah suatu proses besar, yang memakan waktu berpuluh-puluh tahun. Revolusi
adalah suatu hal yang hidup dan yang
dinamis. Revolusi merupakan Symphony besar antara kekuatan konstruktif
yang menghancurkan dan menggempur. Oleh karena itu Soekarno menyatakan bahwa
demokrasi parlementer yang tidak mendatangkan masyarakat adil dan makmur perlu
re-shape. Diperlukan mencari sesuatu hal yang lain. Seorang revolusioner tidak
perlu takut mencari sesuatu hal yang lain.
Pada saat bersamaan Soekarno
menyatakan adanya saling mengincar antara parlemen dan kabinet, merupakan cacat
dalam ketatanegaraan Indonesia. Sistem itu tidak baik dan perlu diubah.
Re-shaping dengan cara membentuk Dewan Nasional sebagai jembatan antara
Parlemen dan Rakyat. Dewan Nasional terdiri dari golongan fungsional. Dewan
Nasional merupakan pembawa aspirasi dan perasaan dari masyarakat. Dewan
Nasional ini pula yang menjadi penggerak seluruh masyarakat untuk menjadi
jembatan yang hebat antara pemerintah sebagai perasaan dari parlemen, oleh
karena parlemen inilah yang harus mengincar pemerintah dan masyarakat. “Ini
adalah intisari daripada niat saya mengadakan Dewan Nasional ini”, kata
Soekarno.
Pada Bulan Mei 1957, Soekarno
membentuk Dewan Nasioal yang terdiri dari empat puluh satu wakil golongan
fungsional dan ditambah dengan beberapa anggota ex officcio. Kenbanyakan partai
politik termasuk PKI, secara tidak langsung diwakili memalui anggota-anggota
fungsional tetapi tidak dengan Masyumi dan Partai Katolik. Soekarno menjadi
ketua, tetapi yang menjadi pelaksana harian adalah wakil ketua Roeslan
Abdulgani.
Dengan terbetuknya sistem
pemerintahan yang baru, maka tentara dan PKI mengambil langkah untuk
meningkatkan peran mereka. Istanapun telah menjadi tempat datang dan perginya,
tamu-tamu yang datang untuk berkonsultasi, menteri-menteri, para pemimpin
partai dan tentara. Istana telah menjadi gedung pertemuan politik dan Soekarno
telah menjadi jantung kegiatannya. Kemampuan tentara meredamkan Peristiwa
PRRI/Permesta (1958) telah membawa tentara menguasai panggung politik di
samping Soekarno. Ketika itu Soekarno mulai lebih cenderung diberlakukannya
kembali UUD 1945, sebagian dengan harapan bahwa tindakan ini akan membawa
kembali semangat optimis, pengendalian dan revolusi yang sehubungan dengan
tahun 1945. Tentara pun beranggapan bahwa kondisi yang ada hanya bisa
diselesaikan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945.
Dihadapan Majelis Konstituante pada
tanggal 22 April 1957, Soekarno menyampaikan kritik mengenai cara kerja mejelis
yang kurang membawa kemajuan selama 2 tahun 5 bulan dan 15 hari sejak ia
meresmikannya. Kendati Soekarno berpandangan bahwa UUD 1945 belum menjamin bisa
mengatasi kesulitan-kesulitan bangsa. Tetapi UUD 1945 akan memungkinkan bangsa
menghadapi kesulitan-kesulitan secara langsung. Di dalam majelis konstituante,
Mukadimah UUD 1945 mendapat tantangan. Pemungutan suara diadakan pada tanggal
30 Mei, 1 Juni dan 3 Juni 1957 tidak mencapai dua per tiga dari suara yang
diperlukan. Keesokannya Nasution mengeluarkan larangan kegiatan politik di muka
umum dan minta pers agar tetap tenang. Ketika Soekarno kembali dari perjalanan
di luar negeri pada akhir bulan Juni 1957, usulan Nasution pun memperoleh
persetujuan dari Soekarno. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan
Majelis Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 dalam kerangka
Demokrasi Terpimpin.
Dalam bulan yang sama Dewan Nasional
dibubarkan. Pada hari peringatan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1959, Soekarno
berpidato dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, yang mana
memperkenalkan ideologi demokrasi tepimpin, yang beberapa bulan kemudian
dinamakan Manipol. Manifesto Politik itu ditetapkan dalam ketetapan MPRS No.
1/MPRS/1960 menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam ketetapan itu
diputuskan pidato Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul “Jalannya
Revolusi Kita” dan pidato tanggal 30 September
1960 di hadapan Sidang Umum yang berjudul “to build the world a new’
merupakan pedoman-pedoman pelaksana manifesto politik.
Sebagaimana disebutkan terdahulu,
Marhaenisme tidak memberi penafsiran tunggal. Demikian pula terjadi pada masa
Demokrasi Terpimpin. Ketika DPP PNI di bawah Ali-sastroamidjojo menghasilkan
Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme (1961) tetapi tidak memperoleh persetujuan
Soekarno. Sidang BPK I di Lembang pada tahun 1964 menghasilkan keputusan yang
memberi penafsiran Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan sesuai dengan
kondisi di Indonesia. Deklarasi Marhaenisme itu pun menyatakan bahwa
materialisme ajaran Karl Marx merupakan metode berjuang dan berpikir. Oleh
karena itu, pemahaman mengenai situasi, kondisi serta sejarah pergerakan rakyat
Indonesia adalah mutlak. Tafsiran yang disetujui Soekarno ini bisa dikatakan
sebagai tahapan taktis terhadap iklim ideologis demokrasi terpimpin yang
semakin kiri.
Di dalam sidang tersebut, Soekarno
menyatakan bahwa Marhaenisme sebagai suatu paham revolusioner yang berdiri di
atas sendi-sendinya. Aksi massa yang revolusioner untuk menegakkan PNI sebagai
partai pelopor. Unsur-unsur buruh dan tani sebagai kekuatan dominan ditetapkan
sebagai soko guru partai dengan tidak mengurangi peranan golongan progesif
lainnya dan menggeser unsur non marhaen dan marhaenis seperti
pengusaha-pengusaha besar, pedagang besar, sisa feodalisme serta tuan tanah dan
kepemimpinan partai politik.
Kenyataan di PNI terdapat banyak
gologan non-marhaen dan non-marhaenis, sehingga sepak terjangnya tidak
mencerminkan kekuatan revolusioner. Ketika PKI melancarkan aksi sepihak
(penyerebotan tanah milik tuan tanah yang dibagikan) dalam rangka pelaksanaan
secara sepihak mendapat tantangan dari PNI. Kenyataan itu menyebabkan Soekarno
menggalangkan kekuatan revolusioner berpaling kepada PKI. Dalam amanat pada
gemblengan pendidikan kader pelopor marhaenis pada tanggal 24—25 Maret 1965 di
Jakarta, Soekarno menyatakan bahwa orang-orang marhaen tidak hanya terdapat di
barisan PNI/Front Marhaenis, tetapi ada pula dalam partai-partai lain. Soekarno
pun menegaskan barang siapa yang tidak setuju dengan persatuan dan kesatuan
yang bersifat progresif revolusioner adalah marhaenis gadungan bukan marhaen
yang setuju Nasakom. Kemudian mereka yang dianggap pendekar marhaenis gadungan
dipecat dari keanggotaan partainya.
Tetapi dengan terjadinya peristiwa
30 September 1965 telah membawa perubahan pada posisi Soekarno dan PNI. Ada
suara yang menyatakan bahwa partai berlambang kepala banteng tidak Pancasilais.
Oleh karena itu penjabaran Marhaenisme mulai dipertanyakan kembali dengan
maksud agar partai bisa bertahan hidup dalam suasana perubahan. Sidang MPP I
PNI pada tanggal 28—29 September 1966 mencabut kembali Deklarasi Marhaenis
sebagai identik dengan Pancasila dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebab
Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Ketika itu PNI berusaha menolak segala
usaha ingin mempersamakan Marhaenisme dengan Marxisme. Sejak itulah Marhaenisme
adalah Pancasila dan Marhaenisme adalan ajaran Soekarno yang ditonjolkan.
Sebenarnya dalam kosa kata pemikiran politik Soekarno. Untuk menghindarkan
salah tafsir dan sehubungan dengan sikap anti kultus individu ….. terhadap
siapapun, maka gelar “Bapak Marhaenisme” yang diberikan Soekarno ditiadakan.
Pencabutan gelar tersebut, merupakan usaha pemerintahan yang baru untuk
membunuh Marhaenisme serta memisahkan Soekarno dari pendukung-pendukungnya.
Marhaenisme telah melahirkan
sejumlah penafsir, seperti Sarmidi Mangunsarkoro (Inti Marhaenisme dan
politik Marhaenisme, penjelasan Marhaenisme), Sayuti Malik (Antara
Marhaenisme dan Marxisme, dan
sumbangan-sumbangan pikiran mengenai Marhaenisme), Ali Sastroamidjojo (Bulatkanlah Front
Marhaenis dalam ideologinya dan organisasinya), Ali Sastroamidjojo dan
Soewirjo (Kaum Marhaen dan Pembangunan), Sitor Situmorang ( Marhaenisme
dan Kebudayaan Indonesia), Asmara Hadi (aneka Marhaenisme-Marxisme,
Rintisan ke Marhaenisme ajaran Bung Karno, dan Sembilan Tesis Marhaensime dan
Penjelasan singkatnya), Roeslan Abdulgani (Sosialisme Indonesia), JK
Tumakaka (Sosialisme Indonesia) dan Sunawar Sukowati (Pokok-Pokok
Pikiran mengenai Essensalia Marhaenisme).
Adanya sejumlah tulisan yang
bersifat tafsiran di atas, setidak-tidaknya bisa menjadi panduan untuk memahami
ajaran Soekarno. Ia telah berhenti menjadi manusia dan mulai menjadi gagasan,
symbol dan mitos. Kejayaan Soekarno telah meninggalkan rasa tertentu dikepala
generasi-generasi yang jauh. Memang banyak buku yang membicaraka Soekarno dan
ajaran-ajaran, tetapi sudah saatnya kita membiarkan Soekarno berbicara.
BAB III
PENUTUP
Garis besar dari pemikiran Bung
Karno adalah nasionalis. Meski Bung Karno berusaha memberi warna pada pandangan
nasionalisnya sesuai dengan corak ke-Indonesia-an, yang secara khusus disebut
dengan Marhaenisme. Nasionalisme-nya Bung Karno melihat bahwa semua ragam
golongan yang ada di Indonesia berhak untuk hidup dan berkembang. Dengan
pemikiran nasionalismenya yang seperti itu membuat Bung Karno harus bekerja
keras untuk selalu berusaha menyatukan segala golongan hingga akhir hayatnya.
Persatuan yang diharapkan oleh Bung
Karno adalah persatuan seluruh rakyat Indonesia untuk menghilangkan
kolonialisme, kapitalisme, dan imperialism di muka bumi Indonesia dan juga
diseluruh dunia. Persatuan yang erat, yang saling bekerja sama dalam balutan
ibu pertiwi Indonesia di bawah naungan Pancasila.
Oleh karena itu, kita sebagai
penerus bangsa Indonesia harus melanjutkan apa yang diharapkan oleh
revolusioner kita, yaitu menciptakan
Masyarakat marhaenis atau masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila. Serta menghilangkan kolonialisme, kapitalisme,
dan imperialism di muka bumi Indonesia dan juga diseluruh dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar