Senin, 05 Januari 2015

MAKALAH KEWIRAAN "MARHAENISME"



MAKALAH

MARHAENISME

(Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Kewiraan)

Karnaen, SH., M.H
 


Disusun Oleh:

Fahad Fadilah Haz
(12610007)


FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS PUTRA INDONESIA
CIANJUR
2013

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillahirabbilalamiin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji kehadirat Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengam judul “MARHAENISME”.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, kepada Dosen yang bersangkutan (Karnaen, S.H MH), dan kepada seluruh teman-teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca. Amiin.







                                                                                    Cianjur, November 2013
                                                                                                Penyusun



     Fahad Fadilah Haz


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR                                                                                               i
DAFTAR ISI                                                                                                              ii
BAB I             PENDAHULUAN                                                                            1
1.      1    Latar Belakang                                                                                    1
1.      2    Tujuan                                                                                                 2
BAB II            PEMBAHASAN                                                                               3
BAB III          PENUTUP                                                                                         12
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                            iii
















DAFTAR PUSTAKA



Abdulgani, Roeslan. Sosialisme Indonesia. Jakarta: Prapanca, 1963.
Dahm, Bernhard. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES, 1987. Hikam, Muhammad AS. Mbak Mega Saya Ikut Sampeyan. Jakarta: Lingkaran Jurnalistik, 1999.
Inderakesuma, Roeswulan. Konsepsi Soekarno tentang Marhaen. Depok: Skripsi Sarjana FSUI, 1987.
Labrousse, Pierre. Le deuxisme vie de Bung Karno, Analyse de mythe (1978-1981). Archipel25, 1988, hal. 187-214.
Legge, John D. Soekarno Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan, 1985.
Lubis, Muhammad Ridwan, Pemikiran Soekarno tentang Islam. Jakarta: CV Haji Masagung , 1992.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Onghokham. Soekarno: Mitos dan Realitas. Prisma, No. 8, Agustus, 1977, hal. 3—14.
Rocamora, J. Ellisio. Nasionalisme Mencari Ideologi – Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Pers, 1990.
Saksono, Ign Gatut. Gambaran Masyarakat dalam Marhaenisme. Jakarta: Skripsi Sarjana STF Driyakarya, 1986.
Subekti, Valina Sangkina. Sukarno dan Marhaenisme, dalam Nazaruddin Sjamsuddin (ed).  Soekarno-Pemikiran Politik dan kenegaraan praktek. Jakarta. Rajawali Pers, 1988, hal. 139—171.
Sudibyo, Agus. Bung Karno dalam Wacana Pers Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. No. 1, 1999, hal. 158—179.
Sukarno. Shaping and Reshaping Indonesia; menggalang massa aksi revolusioner menuju masyarakat adil dan makmur: Kuliah tentang Marhaenisme pada malam peringatan 30 tahun berdirinya PNI pada tanggal 3 Juli 1957 di Bandung. Jakarta: Kementerian Penerangan, 1957.
_____. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid III. Jakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi, 1964.
_____. Indonesia Menggugat. Jakarta: Yayasan Pendidikan Soekarno-Inti Indayu Pers, 1983.
_____. Pancasila sebagai Dasar Negara. Jakarta: Yayasan Pendidikan Soekarno-Inti Idayu Pers, 1984.


BAB I
PENDAHULUAN

1.   1     Latar Belakang

Sejarah kolonialisme yang terjadi pada bangsa ini, yakni penjajahan yang begitu lama dilakukan oleh Belanda terhadap Bangsa kita tercinta ini. Dari berbagai kejadian yang dialami bangsa Indonesia sebagai bangsa terjajah banyak melahirkan konsep metode perjuangan, yang salah satunya yakni Marhaenisme yang digagas oleh Bung Karno  Konsep pada tahun 1927. Konsep ini muncul sebagai antithesa terhadap thesa kolonialisme yang membelenggu rakyat Indonesia pada waktu itu.
Banyak hal yang harus kita pelajari dan diamalkan tentang marhaenisme, marhaen, dan marhaenis. Marhaenisme merupakan asas yang menghendaki susunan mayarakat dan negara yang di dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen (rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh Kapitalisme yang ada di Indonesia menjelma menjadi Kolonialisme waktu itu).
Marhaen diambil dari nama seorang petani yang ditemui Soekarno. Ia adalah seorang petani dari Bandung selatan. Marhaen digunakan untuk menggambarkan kelompok masyarakat Indonesia yang menderita/sengsara bukan karena kemalasan atau kebodohannya, akan tetapi sengsara atau disengsarakan oleh sistem kapitalisme-kolonialisme. Marhaen merupakan jelmaan setiap rakyat Indonesia yang melarat atau yang lebih tepat yang telah dimelaratkan oleh sistem kapitalisme dan kolonialisme. Kaum Marhaen terdiri dari tiga unsur, yaitu: kaum proletar (buruh), kaum petani melarat, dan kaum melarat Indonesia lainnya.
Kalau Marhaenis merupakan setiap pejuang dan setiap patriot bangsa yang menghimpun berjuta-juta kaum Marhaen dan bersama-sama massa Marhaen itu hendaknya menumbangkan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Mereka bersama-sama kaum Marhaen bekerja keras membangun negara dan bangsa yang kuat, bahagia, sentosa, adil dan makmur.
Sedangkan Kaum Marhaen disini adalah rakyat jelata yang merupakan bagian terbesar dalam masyarakat manapun juga. Mereka mengalami penindasan secara ekonomi selama puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun oleh tindakan golongan yang lebih kuat atau sedang berkuasa, ini dalam konteks penjajahan belanda waktu itu. Mereka menderita bukan hanya penindasan oleh golongan yang berkuasa tetapi juga karena kebodohan, kurang pengertian, dan kurang kesadaran. Karena kebodohan dan kurang kesadaran inilah penindasan berlangsung terus-menerus. Mereka menderita karena sistem feodal, imperialime, kolonialisme, atau kapitalisme.
Marhaenisme mempunyai tujuan perjuangan, dalam hal ini termaktub dalam asas Sosio Nasionalisme yaitu menciptakan Masyarakat marhaenis atau masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sosio Nasionalisme bukanlah konsep chauvinism, bukanlah berifat kedaerahan tertentu, tidaklah konsep sebuah etnis atau golongan saja.
Azas yang kedua dalam Marhaenisme adalah Sosio Demokrasi, hal ini mengandung dua konsep besar yaitu Demokrasi politik dan Demokrasi Ekonomi. Demokrasi politik menginginkan kedaulatan politik sebuah Negara, tidak menjadi Negara boneka oleh Negara yang kuat dan adidaya. Begitupun juga tentang ekonomi sebuah Negara, konsep ini menekankan pada kemandirian bangsa Indonesia secara ekonomi.
Ketiga, yakni Ketuhanan, azas yang terakhir ini bisa kita baca bahwa Negara Indonesia memiliki adalah bangsa yang memiliki kerpercayaan terhadap tuhan atau dengan kata lain Negara yang rakyatnya beragama, bangsa Indonesia bukan Negara milik salah satu agama saja, akantetapi masyarakat yang berdiam di Negara ini semua beragama.
Sebagai langkah perjuangan marhaenisme di masa sekarang, dimana masyarakat sudah berubah, kapitalisme sudah berevolusi sedemikian rupa, maka kita bisa membaca dengan marhaenisme sesuai dengan keadaaan tanpa menghilangkan tujuan akhir negara Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

  1. 2     Tujuan

Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai tugas makalah kewiraan dan untuk menambah pengetahuan dan diharapkan bermanfaat bagi kita semua serta Marhaenisme sebagai salah satu tujuan perjuangan yaitu untuk menciptakan Masyarakat marhaenis atau masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.










BAB II
PEMBAHASAN

Kendati Soekarno telah tiada, ajaran-ajarannya tetap saja menghantui ingatan seseorang. Lihat saja Megawati Soekarnoputri memperoleh sejumlah rintangan dari formasi tertentu dalam negara, ketika ada dukungan dari arus bawah yang begitu kuat terhadap Megawati Soekarnoputri untuk menjadi orang nomor satu partai berlambang kepala banteng. Meskipun megawati Soekarnoputri terpilih menahkodai kapal wong cilik yang tersingkir dari derap pembangunan. Goncangan pun tak surut sehingga kapal pun pecah dan ada dua nahkoda. Tindakan kurang terpuji itu dilakukan dengan salah satu alasannya, karena khawatir kebangkitan Marhaenisme, yang bisa dianggap sebagai ideologi penantang terhadap kemapanan dari pemerintah yang menjalankan pembangunan bernuansa kapitalisme.
Di era reformasi, terdapat sejumlah partai politik dan organisasi masyarakat yang berlambang kepala banteng dan yang mempunyai hubungan ideologis dengan Soekarno. Ada yang secara langsung menyebut dirinya sebagai Marhaenis. Diantaranya PNI Front Marhaen, PNI Massa Marhaen, Partai Rakyat Marhaen, Kesatuan Buruh Marhaenis, dan Keluarga Besar Marhaenis. Kendati mereka diperbolehkan berdiri, tetapi pemerintah Habibie memperdengarkan kata Marhaenis dengan nada yang perlu diwaspadai, sehingga menimbulkan sanggahan dari orang yang menyatakan dirinya Marhaenis.
Sebenarnya kata Marhaenisme sudah lama tidak terdengar dan jarang orang mengenal makna kata itu. Marhaenisme pernah menjadi istilah yang popular ketika Soekarno berada di puncak kekuasaannya dan begitu Soekarno surut dari panggung politik, lambat laun kata itu jarang terdengar. Marhaenisme dan Soekarno merupakan suatu hal yang tidak bias dipisahkan, karena Marhaenisme sebagai rumusan pertama kalinya dicetuskan Soekarno. Sebagai asas partai, Marhaenisme berakhir dengan berfusinya PNI kedalam PDI pada tahun 1975. Ada sejumlah organisasi masyarakat yang berasaskan Marhaenisme, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan Gerakan Wanita Marhaenis. Tetapi dengan berlakunya Pancasila sebagai asas tunggal, Marhaenisme tidak boleh digunakan sebagai asas organisasi.
Istilah Marhaenisme dan Marhaen disebut-sebut dalam pidato Soekarno sebagai ketua PNI yang didirikan pada bulan Juli 1927, tetapi bisa dikatakan secara resmi istilah Marhaen itu memperoleh definisi dalam pidato pembelaan Soekarno, “Indonesia Menggugat”, di hadapan Pengadilan Kolonial Belanda di Bandung pada tahun 1930. Soekarno menyatakan bahwa pergaulan hidup merk Marhaen; adalah pergaulan hidup yang sebagian besar sekali adalah terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil, … kaum Marhaen yang apa-apanya semua kecil. Di sini Soekarno mencoba membedakan secara tajam antara konsep Marhaennya itu dengan konsep proletarian dari kaum sosialis Barat, terutama komunis. Kalau struktur masyarakat Eropa telah melahirkan kaum buruh sebagai golongan tertindas atau proletar, sebaliknya masyarakat Indonesia yang belum industrialis mempunyai kaum marhaen yang juga sengsara dan melarat.
Rumusan kata marhaenisme dan marhaen yang lebih terperinci diperoleh dalam tulisan Soekarno, Marhaen dan Proletar, yang dimuat dalam Fikiran Rakyat pada tahun 1933. Sebuah uraian mengenai keputusan-keputusan Partindo (yang dianggap sebagai kelanjutan PNI yang bubar pada tahun 1931) mengenai ideologi baru itu di Mataram (Yogyakarta) yang dikemukan dalam sembilan tesis pokok Marhaenisme dan Marhaenis. Dasar pokok kedua, menyatakan bahwa Marhaen tidak hanya mengacu pada petani miskin, tetapi mencakup kaum proletar dan kaum melarat lainnya. Oleh karena itu pada dasar pokok ketiga, dinyatakan bahwa Marhaen lebih luas dari proletar, karena ia mencakup segala macam kaum melarat lainnya. Kendati demikian, pada dasar pokok kelima, menyatakan di dalam perjuangan (Partindo), kaum proletar memainkan peranan penting, karena kaum proletar telah mengenal cara produksi kapitalisme, di alam perjuangan anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan sebagai pelopor. Dalam dasar pokok kedelapan, disebutkan Marhaenisme adalah cara yang menghendaki hilangnya segala bentuk kapitalisme dan imperialisme. Sedangkan, pada dasar pokok kesembilan, dikatakan bahwa setiap bangsa Indonesia yang menjalankan Marhaenisme disebut marhaenis.
Sebenarnya Marhaenisme dan Marhaen yang dirumuskan Soekarno bisa ditafsirkan sebagai ikhtiar melawan ideologi saingannya, yang mana Marhaenisme menolak analisis kelas dari PNI baru (Hatta-Syahrir) dan lebih menyukai pejuangan ras dan menggantikan citra ekonomi sosialis berdasarkan kolektivisme dengan konsep kebahagiaan dan keadilan sosial untuk marhaen, rakyat kecil yang berjumlah 95% dari rakyat Indonesia.
Penemuan kata “Marhaen”, dikisahkan pertama kali dalam kuliah Soekarno, Shaping and Reshaping Indonesia di Bandung pada tanggal 3 Juli 1957. Ketika Soekarno berjalan-jalan di suatu sawah sekitar kota Bandung dan bertemu dengan seorang petani. Ketika ditanya siapa yang memiliki tanah yang sedang dikerjakan, sang petani menjawab, “Milik saya!” Ini pacul punya siapa? “Millik saya,” jawab petani kembali. ”Alat-alat ini, punya siapa? “Milik saya.” Dari dialog dengan petani itu, Soekarno berkesimpulan bahwa petani itu hanya bekerja untuk dirinya sendiri dan bukan untuk orang lain. Kendati petani bekerja dengan modal dan kekuatan sendiri, ia tetap saja miskin. Oleh karena itu, Soekarno menggunakan nama “Marhaen” sebagai gambaran “kemiskinan rakyat”. Marhaen adalah setiap rakyat yang dimelaratkan oleh kapitalisme, imperialisme, kolonialisme.
Kritik Soekarno terhadap Kapitalisme dan Imperialisme berkaitan erat dengan cita-cita masyarakat Indonesia yang menjadi idaman Soekarno. “Kapitalisme”, kata Soekarno dalam “Indonesia Menggugat”(1930), adalah “suatu pegaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi”. Oleh karena itu, di satu pihak pemilik alat produksi terjadi akumulasi kapital, sentralisasi kapital dan konsentrasi kapital dan sedangkan di pihak lain terjadi proses pemiskinan. Karena itulah, penolakan terhadap sistem masyarakat yang mana manusia mengeksploitasi sesamanya mewarnai pidato-pidato Soekarno. Imperialisme, menurut Soekarno adalah “… suatu nafsu, suatu sistem yang menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri.” Imperialisme bagi Soekarno telah menyebabkan bangsanya yang tinggal di tanah air yang begitu subur, kaya dan indah tetapi penghuninya menjadi jembel. Kolonialisme bisa diartikan sebagai anak kelahiran dari sistem imperialisme dan imperialisme merupakan tingkat tertinggi dari kapitalisme.
Untuk mewujudkan masyarakat tanpa kapitalisme dan imperialisme harus melalui revolusi. Revolusi Nasional diperlukan untuk memperoleh kemerdekaan yang menjadi prasyarat utama terciptanya masyarakat sosialis yang dicita-citakan. Oleh karena itu, dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka pada tahun 1933, Soekarno menyatakan bahwa kemerdekaan hanyalah “Jembatan Emas”. Setelah prasyarat pertama dipenuhi, menyusul ….. Revolusi Sosial agar negara nasional yang tercipta diperintah kaum marhaen bukan jatuh ke dalam tangan kaum borjuis atau kaum ningrat Indonesia. Ada bahaya kalau masyarakat Indonesia sudah merdeka tetapi yang memegang kekuasaan bukan kaum marhaen melainkan kaum borjuis atau kaum ningrat. Dengan demikian kemerdekaan itu tidak berarti. Kemerdekaan semacam itu hanya memberikan ruang gerak yang begitu leluasa bagi sistem kapitalisme. “Tidak ada suatu perubahan besar,” kata Soekarno dalam risalah di atas “….yang lahirnya tidak karena massa aksi.” Massa-Aksi itu harus terwujud dalam suatu partai yang mampu mendidik rakyat kearah kesadaran radikal dan menuntun rakyat kearah kemenangan. Partai semacam itu akan memegang komando barisan massa. Partai yang memegang obor dan menyuluh jalan yang gelap menjadi jalan yang terang. Oleh karena itulah partai pelopor diperbolehkan hanya satu saja agar tidak membingungkan massa. Orang yang memiliki kesadaran radikal yang bisa masuk ke dalam barisan partai.
Ketika Jembatan Emas di ambang pintu, Soekarno menawarkan Pancasila sebagai rujukan bersama, dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Sebuah pidato yang bisa ditafsirkan sebagai suatu ikhtiar kalsik dari gagasan politik yang dikembangkan sampai tahun 1945. Kelima prinsip yang ditawarkan adalah Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Keutuhan yang berkebudayaan. Kalau Pancasila diperas menjadi Trisila adalah sosio-nasionalisme (kebangsaan dan peri kemanusiaan), Sosio-Demokrasi (demokrasi dan kesejahteraan) dan Keutuhanan. Kalau trisila diperas menjadi Ekasila alah gotong-royong.
Kata sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi bukan kata-kata yang baru dalam kosa politik Soekarno. Sembilan pokok Marhaenisme dan Marhaen (1933), pada dasar pokok pertama, menyatakan Marhaenisme adalah Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Rumusan Pancasila Soekarno di atas, berbeda dengan rumusan dan uraian yang ada dalam Pembukaan UUD 1945, akan tetapi dasar ideologinya sama—Pancasila. Kalau Soekarno mendahulukan fundamen politik dan menjadikan moral agama sebagai penutup, dan dalam Pembukaan UUD 1945 didahulukan fundamen moral agama dari fundamen politik. Rumusan terakhir itu merupakan hasil kerjasama para pendiri bangsa yang menempatkan konsep metafisik sebagai dasar pertama.
Ketika Revolusi Kemerdekaan bergerak, sebenarnya Soekarno bermaksud mendirikan PNI sebagai partai pelopor. Tetapi karena situasi tidak mendukung maka PNI ditiadakan dan berdasarkan Maklumat Pemerintah Nomor X pada bulan November 1945, berdirilah partai-partai, antara lain PNI (1946) yang dianggap sebagai kebangkitan kembali PNI tahun 1927. Marhaenisme menjadi asas dari partai berlambang kepala banteng itu. Penafsiran Marhaenisme sebagai ideologi partai tergantung pada kebutuhan partai, ditempa oleh tuntutan sejarah yang saling bertentangan, susunan partai dan koalisi politik yang bergerak cepat.
Rumusan Marhaenisme dengan cakupan yang luas dinyatakan dalam kongres ketiga PNI pada tahun 1948. Perumusan asas-asas partai terjalin erat dengan kondisi akhir tahun 1945-1948 yang pada umumnya tidak ada persaingan ideologis. Keterangan asas dan dasar PNI bisa ditafsirkan sebagai tanggapan terhadap tantangan ideologis PKI. PNI menyatakan bahwa bentuk radikalisme PNI berbeda dengan radikalisme PKI. Oleh karena itu, PNI menolak terhadap segala bentuk kediktatoran, yang terutama diarahkan pada konsep kediktatoran proletariat. Perlawanan ini menunjukkan adanya kekuatan dari dalam PNI pada saat itu sehingga keterangan asas dan dasar PNI merupakan tanggapan terhadap tantangan PKI dengan merumuskan bentuk radikalisme sosialnya sendiri.
Perumusan kembali ideologi PNI, yang disebut Manifesto Marhaenis, dalam kongres keenam PNI pada bulan Desember 1952. Manifes itu menyatakan masayrakat Indonesia pascakolonial menjadi 2% yang hidup makmur, 7% yang hidup berkecukupan dan 91% lagi adalah petani miskin, pedagang kecil, buruh kecil dan pegawai rendahan yang hidup dalam kemiskinan. Sebagaian besar penduduk yang miskin itu adalah Marhaen. Untuk mencapai masyarakat Marhaenisme, partai Marhaenis bertugas untuk “menghancurkan pranata-pranata feodal, benih-benih kapitalisme nasional, perusahaan raksasa asing dan kebodohan rakyat yang masih ada di Indonesia.
Dalam rumusan tersebut ada yang berupa ulangan dari pernyataan ideologi (1948). Beberapa rumusan yang diulang, nasionalisme di urutan pertama, penolakan terhadap perjuangan kelas, penegasan perjuangan melawan kapitalisme asing serta kapitalisme dan feodalisme nasional. Bagian yang terpenting yang tidak diulang pada tahun 1952 adalah pernyataan bahwa PNI menentang pranata hak milik pribadi, atau lebih khususnya penguasaan pribadi atas sarana produksi. Inkonsistensi ini sebagian besar dari proses perumusan kedua dokumen tersebut dan proses perbaikan yang dilakukan untuk menjamin persetujuan dari pelbagai kelompok yang diwakili dalam kongres. Marhaenisme menurut PNI bukanlah ajaran yang mengharuskan para pemimpin yang penuh cita-cita meleburkan diri dan hidup sesuai dengan ajaran tersebut. Sebaliknya, ajaran Marhaenisme merupakan sejumlah pernyataan simbolik untuk memberi keabsahan politik bagi suatu kepemimpinan. Ideologi PNI dipergunakan untuk mendidik massa demi mencapai tujuan yang ditentukan elite, dan bukan mengerahkan massa atas dasar keluhan-keluhan mereka.
Kongres PNI ketujuh pada tahun 1954, memberi pernyataan sehubungan dengan asa-asa perekonomian PNI. Konsepsi Perekonomian menyatakan bahwa seharusnya pemerintah secara aktif membantu mengembangkan Kewiraswastaan nasional. Pemerintah harus membantu pengerahan modal nasional untuk investasi di berbagai bidang ekonomi melalui program pada bank-bank swasta nasional. Perusahaan swasta besar harus dilarang. Semua perusahaan besar dan vital harus dimiliki dan diawasi negara. Perusahaan asing harus dinasionalisasi. Dukungan PNI terhadap pengusaha nasional yang berkembang pesat tidak bisa dilepaskan dari kondisi PNI yang tidak mempunyai kelompok yang mapan dan kebutuhan keuangan PNI semakin meningkat selama kampanye pemilu.
Adanya multipartai disertai dengan kainet parlementer yang silih berganti dan berumur rata-rata 6 bulan, ternyata mengurangi stabilitas kabinet. Pemilu tahun 1955 diselenggarakan agar bisa dibentuk kabinet yang stabil berdasarkan pilihan rakyat. Ternyata hasilnya kurang menggembirakan karena tidak ada suara mayoritas dan jalan koalisi harus ditempuh untuk membentuk pemerintah baru. Kendati Soekarno menginginkan agar PKI sebagai salah satu partai besar disertakan dalam kabinet yang baru tapi Masyumi dan NU menolak. Kemudian PNI, Masyumi dan NU membentuk kabinet itu pun jatuh. Harapan terhadap kabinet hasil pemilu itu tinggal harapan kosong belaka. Kejadian menyebabkan partai politik kehilangan pamor.
Dalam kondisi jatuh bangun kabinet, pada bulan Oktober 1956, Soekarno menyatakan bahwa pada tahun 1945 konsepsinya tentang partai negara yang nyaris dilaksanakan atas keputusan untuk mendorong berdirinya partai-partai politik. Soekarno menyatakan bahwa ia bukan saja bermimpi tetapi malah menganjurkan agar terjadi pembubaran partai-partai yang dilakukan para pemimpin partai politik. Kendati demikian Soekarno menyatakan dirinya seorang demokrat yang tidak menyukai liberal. Soekarno berkeinginan untuk mewujudkan Demokrasi Terpimpin.
Melalui konsepsi Presiden  pada tanggal 21 Februari 1957, yang diawali dengan penolakan terhadap demokrasi liberal yang mengizinkan pemaksaan mayoritas atas minoritas. Kemudian Soekarno menyatakan telah memperoleh suatu gaya untuk mencapai kata sepakat dalam pengambilan keputusan pemerintah yang berakar pada bentuk musyawarah di pedesaan. Soekarnopun mengusulkan dibentuknya Kabinet Gotong Royong yang mewakili semua partai. Karena PKI diberi kesempatan untuk turut serta dalam kesepakatan nasional. Kabinet “berkaki empat” terdiri dari PNI, Masyumi, NU dan PKI, dan partai-partai kecil lainnya turut membantu.
Selain Kabinet Gotong Royong, Soekarnopun mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional dibawah pimpinannya yang dapat bermusyawarah mengenai garis-garis politik nasional. Dewan Nasional merupakan perwakilan dari golongan fungsional yang terdiri dari wakil-wakil buruh, tani, cendikiawan, pengusaha nasional, agama, angkatan bersenjata, organisasi perempuan, organisasi pemuda dan wakil daerah. Kalau kabinet berkaki empat merupakan cerminan dari parlemen, Dewan Nasional adalah pencerminan dari masyarakat secara keseluruhan. Dengan memasukkan unsur utama dari masyarakat berarti kabinet gotong royong dan Dewan Nasional akan bisa mengambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan keputusan itu memperoleh dukungan dari seluruh bangsa: Konsepsi Presiden Soekarno itu memperoleh dukungan dari partai besar – PNI dan PKI, tetapi Masyumi dan NU menolak.
Harapan-harapan pada tahun 1949 ternyata telah membawa sejumlah kekecewaan, kemerdekaan memang membawa banyak kemajuan, tetapi menyangkut kebutuhan material, karenanya tidak ada satu kabinetpun yang bisa memuaskan harapan-harapan masyarakat yang begitu besar. Situasi pun menjadi runyam dengan adanya pergolakan di Indonesia bagian Timur dan Sumatra dan Kabinet Ali-Roem-Idham jatuh pada bulan Maret 1957. Kemudian Soekarno menunjukkan ketua PNI Suwiryo sebagai formatur untuk menyusun kabinet dan ternyata gagal untuk membentuk kabinet koalisi. Kemudian docoba kembali membentuk kabinet yang tidak tergantung pada partai tetapi mengalami nasib yang sama. Kegagalan ini menyebabkan Soekarno memanggil sekitar tujuh puluh pemimpin partai politik, pejabat senior dan pemimpin militer untuk suatu rapat pada tanggal 4 Juli 1957. Beberapa orang diantaranya dipanggil lewat radio, mereka yang berada di daerah terburu-buru ke Jakarta. Di dalam rapat Soekarno menyatakan bahwa Presiden Soekarno telah menunjuk warganegara Soekarno untuk membentuk pemerintahan. Kemudian Soekarno mengedarkan lembaran kertas yang berisi pernyataan bersedia atau tidak duduk dalam pemerintahan baru. Beberapa orang menolak, tetapi lebih banyak lagi bersedia. Soekarno kemudian berhasil membentuk kabinet dibawah pimpinan Djuanda, seorang tokoh non partai. PNI dan NU menyumbang masing-masing empat orang menteri sebaliknya Masyumi  menolak duduk dalam kabinet. Dan ada dua simpatisan dalam kabinet itu.
Dalam kabinet yang kurang mendudkung itu, Soekarno memberi kuliah tentang Marhaenisme dengan judul “Shaping and Reshaping Indonesia: menggalang massa aksi revolusioner menuju masyarakat adil dan makmur”, pada malam peringatan 30 tahun berdirinya PNI pada tanggal 3 Juli 1957 di Bandung. Melalui kuliah itu, Soekarno mengeritik demokrasi parlementer yang dipaksakan dan yang berlaku di Indonesia. Soekarno menyatakan ketidakyakinan bahwa demokarasi parlementer bisa tercapai masyarakat sosialis. “Janganlah kita mengira bahwa kita bisa mengadakan satu masyarakat adil dan makmur.” Soekarno pun menyatakan bahwa kenyataan tersebut telah menjadi buah pikiran Soekarno pada tahun 1927—1933. Oleh karena itu Soekarno mengusulkan mengenai perlunya demokrasi politik yang dibarengi demokrasi ekonomi. Demokrasi sosial itu merupakan pilihan lain dari demokrasi parlementer, yang bisa memberi kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Demokrasi Parlementer memberi hak politik pada si buruh miskin dan majikannya tetapi pada saat yang sama sang kapitalis berdiam di gedung mewah dan si buruh tinggal di gubug yang mana istrinya menangis karena anaknya tidak bisa makan.
Hampir 12 tahun Indonesia merdeka, tetap saja belum bisa memberi kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Selama masyarakat adil dan makmur belum tercapai, revolusi tetap diperlukan. Di dalam revolusi mempunyai keharusan untuk merenung dan membentuk segala sesuatu.
Revolusi minta thinking and rethinking
….. bukan saja berpikir, membentuk
….. dan jikalau perlu, re-shape
….. membentuk, kalau ternyata bentuk itu salah,
buanglah, buanglah, ganti
dengan bentuk baru, re-shape.
Kalau ini salah, buang, ganti dengan bentuk baru.

Soekarno menyatakan bahwa revolusi adalah suatu proses besar, yang memakan waktu berpuluh-puluh tahun. Revolusi adalah suatu hal yang hidup  dan yang dinamis. Revolusi merupakan Symphony besar antara kekuatan konstruktif yang menghancurkan dan menggempur. Oleh karena itu Soekarno menyatakan bahwa demokrasi parlementer yang tidak mendatangkan masyarakat adil dan makmur perlu re-shape. Diperlukan mencari sesuatu hal yang lain. Seorang revolusioner tidak perlu takut mencari sesuatu hal yang lain.
Pada saat bersamaan Soekarno menyatakan adanya saling mengincar antara parlemen dan kabinet, merupakan cacat dalam ketatanegaraan Indonesia. Sistem itu tidak baik dan perlu diubah. Re-shaping dengan cara membentuk Dewan Nasional sebagai jembatan antara Parlemen dan Rakyat. Dewan Nasional terdiri dari golongan fungsional. Dewan Nasional merupakan pembawa aspirasi dan perasaan dari masyarakat. Dewan Nasional ini pula yang menjadi penggerak seluruh masyarakat untuk menjadi jembatan yang hebat antara pemerintah sebagai perasaan dari parlemen, oleh karena parlemen inilah yang harus mengincar pemerintah dan masyarakat. “Ini adalah intisari daripada niat saya mengadakan Dewan Nasional ini”, kata Soekarno.
Pada Bulan Mei 1957, Soekarno membentuk Dewan Nasioal yang terdiri dari empat puluh satu wakil golongan fungsional dan ditambah dengan beberapa anggota ex officcio. Kenbanyakan partai politik termasuk PKI, secara tidak langsung diwakili memalui anggota-anggota fungsional tetapi tidak dengan Masyumi dan Partai Katolik. Soekarno menjadi ketua, tetapi yang menjadi pelaksana harian adalah wakil ketua Roeslan Abdulgani.
Dengan terbetuknya sistem pemerintahan yang baru, maka tentara dan PKI mengambil langkah untuk meningkatkan peran mereka. Istanapun telah menjadi tempat datang dan perginya, tamu-tamu yang datang untuk berkonsultasi, menteri-menteri, para pemimpin partai dan tentara. Istana telah menjadi gedung pertemuan politik dan Soekarno telah menjadi jantung kegiatannya. Kemampuan tentara meredamkan Peristiwa PRRI/Permesta (1958) telah membawa tentara menguasai panggung politik di samping Soekarno. Ketika itu Soekarno mulai lebih cenderung diberlakukannya kembali UUD 1945, sebagian dengan harapan bahwa tindakan ini akan membawa kembali semangat optimis, pengendalian dan revolusi yang sehubungan dengan tahun 1945. Tentara pun beranggapan bahwa kondisi yang ada hanya bisa diselesaikan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945.
Dihadapan Majelis Konstituante pada tanggal 22 April 1957, Soekarno menyampaikan kritik mengenai cara kerja mejelis yang kurang membawa kemajuan selama 2 tahun 5 bulan dan 15 hari sejak ia meresmikannya. Kendati Soekarno berpandangan bahwa UUD 1945 belum menjamin bisa mengatasi kesulitan-kesulitan bangsa. Tetapi UUD 1945 akan memungkinkan bangsa menghadapi kesulitan-kesulitan secara langsung. Di dalam majelis konstituante, Mukadimah UUD 1945 mendapat tantangan. Pemungutan suara diadakan pada tanggal 30 Mei, 1 Juni dan 3 Juni 1957 tidak mencapai dua per tiga dari suara yang diperlukan. Keesokannya Nasution mengeluarkan larangan kegiatan politik di muka umum dan minta pers agar tetap tenang. Ketika Soekarno kembali dari perjalanan di luar negeri pada akhir bulan Juni 1957, usulan Nasution pun memperoleh persetujuan dari Soekarno. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin.
Dalam bulan yang sama Dewan Nasional dibubarkan. Pada hari peringatan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1959, Soekarno berpidato dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, yang mana memperkenalkan ideologi demokrasi tepimpin, yang beberapa bulan kemudian dinamakan Manipol. Manifesto Politik itu ditetapkan dalam ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam ketetapan itu diputuskan pidato Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita” dan pidato tanggal 30 September  1960 di hadapan Sidang Umum yang berjudul “to build the world a new’ merupakan pedoman-pedoman pelaksana manifesto politik.
Sebagaimana disebutkan terdahulu, Marhaenisme tidak memberi penafsiran tunggal. Demikian pula terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin. Ketika DPP PNI di bawah Ali-sastroamidjojo menghasilkan Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme (1961) tetapi tidak memperoleh persetujuan Soekarno. Sidang BPK I di Lembang pada tahun 1964 menghasilkan keputusan yang memberi penafsiran Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi di Indonesia. Deklarasi Marhaenisme itu pun menyatakan bahwa materialisme ajaran Karl Marx merupakan metode berjuang dan berpikir. Oleh karena itu, pemahaman mengenai situasi, kondisi serta sejarah pergerakan rakyat Indonesia adalah mutlak. Tafsiran yang disetujui Soekarno ini bisa dikatakan sebagai tahapan taktis terhadap iklim ideologis demokrasi terpimpin yang semakin kiri.
Di dalam sidang tersebut, Soekarno menyatakan bahwa Marhaenisme sebagai suatu paham revolusioner yang berdiri di atas sendi-sendinya. Aksi massa yang revolusioner untuk menegakkan PNI sebagai partai pelopor. Unsur-unsur buruh dan tani sebagai kekuatan dominan ditetapkan sebagai soko guru partai dengan tidak mengurangi peranan golongan progesif lainnya dan menggeser unsur non marhaen dan marhaenis seperti pengusaha-pengusaha besar, pedagang besar, sisa feodalisme serta tuan tanah dan kepemimpinan partai politik.
Kenyataan di PNI terdapat banyak gologan non-marhaen dan non-marhaenis, sehingga sepak terjangnya tidak mencerminkan kekuatan revolusioner. Ketika PKI melancarkan aksi sepihak (penyerebotan tanah milik tuan tanah yang dibagikan) dalam rangka pelaksanaan secara sepihak mendapat tantangan dari PNI. Kenyataan itu menyebabkan Soekarno menggalangkan kekuatan revolusioner berpaling kepada PKI. Dalam amanat pada gemblengan pendidikan kader pelopor marhaenis pada tanggal 24—25 Maret 1965 di Jakarta, Soekarno menyatakan bahwa orang-orang marhaen tidak hanya terdapat di barisan PNI/Front Marhaenis, tetapi ada pula dalam partai-partai lain. Soekarno pun menegaskan barang siapa yang tidak setuju dengan persatuan dan kesatuan yang bersifat progresif revolusioner adalah marhaenis gadungan bukan marhaen yang setuju Nasakom. Kemudian mereka yang dianggap pendekar marhaenis gadungan dipecat dari keanggotaan partainya.
Tetapi dengan terjadinya peristiwa 30 September 1965 telah membawa perubahan pada posisi Soekarno dan PNI. Ada suara yang menyatakan bahwa partai berlambang kepala banteng tidak Pancasilais. Oleh karena itu penjabaran Marhaenisme mulai dipertanyakan kembali dengan maksud agar partai bisa bertahan hidup dalam suasana perubahan. Sidang MPP I PNI pada tanggal 28—29 September 1966 mencabut kembali Deklarasi Marhaenis sebagai identik dengan Pancasila dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebab Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Ketika itu PNI berusaha menolak segala usaha ingin mempersamakan Marhaenisme dengan Marxisme. Sejak itulah Marhaenisme adalah Pancasila dan Marhaenisme adalan ajaran Soekarno yang ditonjolkan. Sebenarnya dalam kosa kata pemikiran politik Soekarno. Untuk menghindarkan salah tafsir dan sehubungan dengan sikap anti kultus individu ….. terhadap siapapun, maka gelar “Bapak Marhaenisme” yang diberikan Soekarno ditiadakan. Pencabutan gelar tersebut, merupakan usaha pemerintahan yang baru untuk membunuh Marhaenisme serta memisahkan Soekarno dari pendukung-pendukungnya.
Marhaenisme telah melahirkan sejumlah penafsir, seperti Sarmidi Mangunsarkoro (Inti Marhaenisme dan politik Marhaenisme, penjelasan Marhaenisme), Sayuti Malik (Antara Marhaenisme dan  Marxisme, dan sumbangan-sumbangan pikiran mengenai Marhaenisme), Ali  Sastroamidjojo (Bulatkanlah Front Marhaenis dalam ideologinya dan organisasinya), Ali Sastroamidjojo dan Soewirjo (Kaum Marhaen dan Pembangunan), Sitor Situmorang ( Marhaenisme dan Kebudayaan Indonesia), Asmara Hadi (aneka Marhaenisme-Marxisme, Rintisan ke Marhaenisme ajaran Bung Karno, dan Sembilan Tesis Marhaensime dan Penjelasan singkatnya), Roeslan Abdulgani (Sosialisme Indonesia), JK Tumakaka (Sosialisme Indonesia) dan Sunawar Sukowati (Pokok-Pokok Pikiran mengenai Essensalia Marhaenisme).
Adanya sejumlah tulisan yang bersifat tafsiran di atas, setidak-tidaknya bisa menjadi panduan untuk memahami ajaran Soekarno. Ia telah berhenti menjadi manusia dan mulai menjadi gagasan, symbol dan mitos. Kejayaan Soekarno telah meninggalkan rasa tertentu dikepala generasi-generasi yang jauh. Memang banyak buku yang membicaraka Soekarno dan ajaran-ajaran, tetapi sudah saatnya kita membiarkan Soekarno berbicara. 










BAB III
PENUTUP


Garis besar dari pemikiran Bung Karno adalah nasionalis. Meski Bung Karno berusaha memberi warna pada pandangan nasionalisnya sesuai dengan corak ke-Indonesia-an, yang secara khusus disebut dengan Marhaenisme. Nasionalisme-nya Bung Karno melihat bahwa semua ragam golongan yang ada di Indonesia berhak untuk hidup dan berkembang. Dengan pemikiran nasionalismenya yang seperti itu membuat Bung Karno harus bekerja keras untuk selalu berusaha menyatukan segala golongan hingga akhir hayatnya.
Persatuan yang diharapkan oleh Bung Karno adalah persatuan seluruh rakyat Indonesia untuk menghilangkan kolonialisme, kapitalisme, dan imperialism di muka bumi Indonesia dan juga diseluruh dunia. Persatuan yang erat, yang saling bekerja sama dalam balutan ibu pertiwi Indonesia di bawah naungan Pancasila.
Oleh karena itu, kita sebagai penerus bangsa Indonesia harus melanjutkan apa yang diharapkan oleh revolusioner kita, yaitu menciptakan Masyarakat marhaenis atau masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Serta menghilangkan kolonialisme, kapitalisme, dan imperialism di muka bumi Indonesia dan juga diseluruh dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar